Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal
Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog bermain dengan anak-anak Taman
Kanak-kanak di Sekolah Indonesia Bangkok, Thailand, Rabu(27/2).
Pendidikan wawasan kebangssan perlu menjadi prioritas untuk anak-anak
Indonesia di luar negeri.
BANGKOK. Wawasan kebangsaan perlu ditanamkan sejak dini.
Bagi sekolah luar negeri Indonesia (SLNI), pendidikan cinta tanah air
ini bahkan menjadi teramat penting. Tentunya, agar peserta didik yang
tumbuh di “tanah orang” itu tidak kehilangan identitasnya sebagai warga
negara Indonesia.
Demikian dinyatakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Nonformal, dan Informal Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog usai
mengunjungi Taman Kanak-kanak di Sekolah Indonesia Bangkok, di sela-sela
Kegiatan Pertemuan Koordinator Pendidikan untuk Semua (PUS) di Bangkok,
Thailand, Rabu(27/2).
“Hati saya terenyuh sekali ketika saya tanya kepada anak-anak itu,
siapa presiden mereka. Banyak di antara mereka yang tidak tahu,” kata
Lydia yang juga akrab dipanggil Reni Akbar-Hawadi menceritakan
pengalamannya di satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) tersebut.
Padahal, kata Reni, gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta
wakilnya, Boediono terpampang mengapit lambang Garuda Pancasila di
dinding ruang kelas. Namun, simbol-simbol negara itu tidak dikenal oleh
anak-anak usia dini itu.
Tidak hanya itu saja, mereka juga tak mengenal dengan baik lagu-lagu
Indonesia yang lazim dinyanyikan di PAUD. Hal ini pun semakin
memperlebar jarak antara diri anak dengan negerinya sendiri.
“Lagu-lagu nasional sebenarnya bisa dikenalkan sejak dini. Ini akan
menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air,” kata psikolog
keberbakatan itu.
Wawasan kebangsaan
Menanggapi hal itu, Reni menyatakan wawasan kebangsaan harus menjadi
salah satu prioritas di SILN, terutama pada PAUD. Dengan demikian
anak-anak Indonesia yang tumbuh di luar negeri tak kehilangan
identitasnya sebagai warga negara Indonesia.
Meski demikian, ditekankan Reni, apa yang ia amati tersebut terjadi
bukan karena kesadaran akan pendidikan wawasan kebangsaan telah luntur.
Hal itu terjadi tidak lain karena para pendidik PAUD di SILN belum
mendapatkan pelatihan dan informasi yang memadai dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Hal ini diakui Reni menjadi
tanggung jawab pemerintah.
“Banyak dari para pendidik PAUD tersebut adalah para sukarelawan.
Mereka belum mendapatkan pelatihan dan tidak memiliki latar belakang
pendidikan PAUD atau psikologi. Oleh karena itu kami akan mengupayakan
agar program pelatihan dapat menjangkau pendidik PAUD di SILN,” kata
Reni.
Selain itu, Reni juga menyatakan sarana prasarana PAUD haruslah
diperhatikan. Anak-anak harus diberikan ruang yang cukup dan fasilitas
yang memadai, seperti alat permainan edukatif. “Sarana dan prasarana
untuk PAUD jangan hanya diberikan sebagai pelengkap, tapi sebagai
pemenuhan kebutuhan pendidikan anak,” kata Guru Besar Universitas
Indonesia itu.
Tidak cukup hanya itu, Reni juga mengundang para atase yang sedang
bertandang ke Indonesia untuk sering-sering mengunjungi kantor
Direktorat Jenderal PAUDNI Kemdikbud. Selain untuk berdiskusi dan
mempererat hubungan, juga untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai
panduan dan petunjuk teknis perihal PAUD.
Tantangan SILN
SILN adalah sekolah yang melayani pendidikan untuk anak-anak
Indonesia yang ada di luar negeri. Sekolah ini berada di bawah bimbingan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sehingga setiap
murid yang lulus dari sekolah ini mendapat ijazah yang resmi dari
Kemdikbud. Selain itu, SILN juga bisa mendapatkan bantuan dari
Kemdikbud.
Dengan adanya SILN, anak-anak Indonesia dapat bersekolah dengan
mengikuti kurikulum yang berlaku di Indonesia. Tujuannya adalah agar
mereka dapat mengenal Indonesia dan dapat berbahasa Indonesia.
Meski secara substansi pembelajaran SILN dibina oleh Kemdikbud, tapi
hingga saat ini penganggaran operasional SILN ada pada Kementerian Luar
Negeri. Tahun depan, direncanakan Kemdikbud akan mengambil alih peran
Kemlu tersebut.
Sampai saat ini, sudah terdapat 15 negara yang terdapat SILN. Oleh
karena berlokasi di luar negeri, terdapat tantangan khas yang dihadapi
pendidik di SILN dalam membentuk karakter anak Indonesia. Tidak lain
yaitu perbedaan tradisi dan budaya lingkungan, antara apa yang anak
didik temui sehari-hari dengan